Beranda | Artikel
Sikap Ahlusunah wal Jamaah terhadap Penguasa
2 hari lalu

Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Penguasa adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 08 Rajab 1446 H / 08 Januari 2025 M.

Kajian Islam Tentang Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Penguasa

Di antara pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dijelaskan oleh Allah Azza wa Jalla dan diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam banyak hadits adalah perintah kepada kaum muslimin untuk selalu taat dan patuh kepada pemerintah, tunduk kepada penguasa, serta bersatu di atas jamaah kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa [4]: 59)

Para ulama menyatakan bahwa ulil amri mencakup dua golongan, yaitu ulama (ahli ilmu) dan umara (para pemimpin dan penguasa). Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’anul Karim. Tidak ada perbedaan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai kewajiban menaati penguasa dalam perkara yang bukan maksiat.

Makna firman Allah Azza wa Jalla وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (Dan pemimpin-pemimpin di antara kalian), yaitu ulil amri dari kalangan kaum muslimin. Selama pemimpin tersebut masih beragama Islam, kewajiban untuk taat tetap berlaku, meskipun ia seorang fasik atau dzalim. Bahkan, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama, selama masih tersisa seberat zarah dari keislamannya, kewajiban menaati tetap ada, selama bukan dalam perkara maksiat.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian semua untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan patuh serta taat (kepada pemimpin) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Takwa adalah wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Semua umat wajib bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Setelah pesan takwa, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan agar umatnya selalu taat dan patuh kepada penguasa kaum muslimin. Ini merupakan pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah—selalu bersatu di bawah kepemimpinan kaum muslimin.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan, jika seandainya ada seorang budak yang berhasil menguasai suatu wilayah dan menjadi pemimpin kaum muslimin, maka tetap wajib bagi kaum muslimin untuk taat kepadanya.

Bahkan lebih jelas lagi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ

“Meskipun pemimpin kalian adalah seorang hamba sahaya dari Etiopia (berkulit hitam dan kepala kecil seperti kismis, tetaplah taat kepadanya).” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan, bahkan jika pemimpin tersebut memiliki kekurangan fisik, seperti tidak memiliki jari tangan atau kaki, kaum muslimin tetap diwajibkan untuk tunduk dan patuh kepadanya selama ia seorang muslim.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan penegasan bahwa penampilan fisik, kesehatan, atau kekurangan pribadi seorang pemimpin tidak menjadi alasan bagi rakyat untuk tidak menaati pemimpin tersebut. Selama ia telah menjadi penguasa, rakyat tunduk kepadanya, dan ia masih beragama Islam, kewajiban untuk menaati tetap berlaku, asalkan bukan dalam perkara maksiat.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengabarkan bahwa akan muncul pemimpin-pemimpin yang buruk, yang mengutamakan diri sendiri dan keluarganya, bahkan mengambil harta kaum muslimin atau memukul mereka. Namun, beliau tidak memerintahkan umatnya untuk memberontak atau memerangi mereka. Nabi bersabda:

فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ

“Bersabarlah sampai kalian berjumpa denganku di Telaga.” (HR. Bukhari)

Hal ini menunjukkan bahwa di antara pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kewajiban rakyat untuk menaati penguasa dalam perkara yang bukan maksiat. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk keluar dari ketaatan kepada penguasa atau memberontak terhadapnya, apalagi sampai mengangkat senjata.

Pemberontakan tidak pernah terjadi secara tiba-tiba; biasanya dimulai dengan ucapan, seperti menyebarkan berita dusta dan ujaran kebencian. Perbuatan semacam ini diharamkan dalam Islam. Barang siapa memberontak kepada penguasa kaum muslimin yang sah, maka ia tergolong sebagai Khawarij atau Mu’tazilah.

Di antara keyakinan kelompok Mu’tazilah adalah kewajiban melakukan amar makruf nahi munkar dengan cara memberontak kepada penguasa yang zalim. Keyakinan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang senantiasa menekankan kesatuan umat dan ketaatan kepada penguasa dalam perkara yang makruf.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini, sebagaimana banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa kaum muslimin diperintahkan untuk bersabar terhadap kezaliman penguasa. Namun, sabar di sini tidak berarti diam saja atau membiarkan, apalagi mendukung kezaliman tersebut. Wajib bagi para ulama dan orang-orang yang mampu menjangkau penguasa untuk menasihati dan mengingatkan mereka agar menjauhi dosa dan kezaliman.

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata bahwa tunduk dan patuh kepada penguasa atau pemerintah adalah wajib dalam perkara-perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun dalam perkara maksiat, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”

Jika pemerintah atau penguasa memerintahkan untuk berbuat zalim, memakan riba, berzina, minum khamar, atau perkara-perkara lain yang diharamkan, maka tidak boleh ada ketaatan kepada mereka dalam hal tersebut. Begitu pula seorang istri tidak boleh menaati suaminya jika diperintahkan untuk bermaksiat. Seorang anak wajib menaati orang tuanya, tetapi jika orang tua menyuruhnya untuk bermaksiat, maka tidak ada ketaatan dalam hal itu.

Lihat juga: Tidak Ada Ketaatan Dalam Maksiat

Rakyat dengan penguasa pun demikian. Apabila penguasa mengajak rakyatnya untuk berbuat zalim atau melakukan perkara yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka tidak boleh ada ketaatan dalam hal tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa ketaatan hanya berlaku dalam perkara yang makruf dan sesuai dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang makruf. (HR. Bukhari dan Muslim)

Meskipun demikian, jabatan atau wewenang penguasa tetap harus dihormati dan dihargai. Ketidaktaatan hanya berlaku dalam perkara maksiat, sedangkan dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syariat, rakyat tetap wajib taat dan menghormati penguasa.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga sikap terhadap penguasa. Beliau bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barang siapa yang menghina penguasa yang Allah tetapkan di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Tirmidzi)

Lalu bagaimana cara memilih pemimpin dalam Islam? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54871-sikap-ahlusunah-wal-jamaah-terhadap-penguasa/